BERITA BATAK
Meski hanya dilakukan oleh puluhan orang, aksi penolakan sejumlah pemuda Batak atas rencana pemberian gelar Raja Batak kepada Presiden SBY tidak boleh dipandang sepele. Aspirasi itu patut dicermati sebagai bagian dari keresahan nasional atas kepemimpinan SBY yang oleh kalangan yang luas dinilai tak kunjung memberi perubahan yang didambakan.
Sebagaimana diketahui besok tanggal 18 Januari 2010 SBY akan hadir di Balige. Agenda yang direncanakan ialah peresmian Museum Batak yang konon adalah merupakan prakarsa dari TB Silalahi atas nama TB Silalahi Centre. Dijadwalkan pula penganugerahan gelar Raja Batak untuk Presiden SBY. Protes serupa pernah terjadi tahun 2008 ketika sejumlah orang menganugerahkan marga Silaban dan gelar yang sama (Raja Batak) kepada Syamsul Arifin yang saat itu akan maju menjadi salah seorang kandidat Gubernur Sumatera Utara.
Demonstrasi yang berlangsung Minggu (16/1/2011) di monumen Sisingamangaraja XII Jalan Sisingamangaraja, Teladan, Medan ini tampaknya bukanlah sekadar ekspresi kecemburuan sosial di antara marga-marga Batak (khususnya di Toba) yang memang seharusnya memusyawarahkan segala sesuatu yang terkait dengan masalah-masalah pembangunan di bona pasogit (kampung halaman). Demonstrasi yang sama juga berlangsung di Jakarta. Mestinya SBY mencermati resistensi terhadap budaya politik pengatas-namaan (klaim) yang dilakukan oleh para elit untuk maksud “persembahan” kepada beliau.
Diketahui, berbagai komponen masyarakat Maluku pernah manyatakan penolakan atas rencana pemberian gelar adat upu latu ratmaran siwalima (tokoh perdamaian tertinggi untuk pria) pada bulan november 2009. Pada awal Agustus 2010 isyarat alam berupa gempa berkekuatan 6,4 SR juga terjadi justru saat beliau menerima gelar adat Alam Ma Kokuta, yang berarti Penyanggah Alam, dari Kesultanan Ternate.
Feodalisme Ketinggalan zaman
Pada Tahun 2006 Ivan Adilla gelar Bagindo Sulaiman, pengajar di Fakultas Sastra Universitas Andalas, memberi kritik amat halus atas rencana pemberian gelar adat Minangkabau kepada SBY. Menurutnya fakta pemberian gelar adat itu kerap amat bisa dipahami dalam kaitannya dengan fakta lain, yakni penguatan sikap feodalistis di sebagian masyarakat daerah. Konon dalam pandangan kaum feodal, pejabat yang berada di lingkaran pusat kekuasaan adalah seorang atasan dengan nilai kebangsawanan dan kekuasaan yang lebih tinggi daripada mereka di daerah.
Hal itulah yang kemudian menyebabkan pejabat pusat mendapat perlakuan amat istimewa jika datang ke daerah, dan malah kerap menjadi ajang korupsi yang dahsyat. Berbagai upaya pejabat daerah dalam menyiapkan acara penyambutan dan pelayanan tak mungkin tak berkonsekuensi pengeluaran yang ujung-ujungnya membobol keuangan Negara (APBN maupun ABPD).
Pada sebagian besar pejabat daerah di balik seremoni feodalistik itu ada harapan besar memperoleh berkah dan hadiah dari atasan. Sepanjang sejarah, pemberian gelar
adat juga menjadi salah satu modus efektif untuk itu.
adat juga menjadi salah satu modus efektif untuk itu.
Manfaat seremoni serupa ini dalam kaitannya dengan pemupukan kesetiaan politik bukan tidak ada. Itu lazim, meski ketinggalan zaman dan tidak masanya lagi. Jauh lebih penting bagi masyarakat ialah memberi mereka kesejahteraan yang didambakan.
Menyelesaikan carut-marut korupsi, mafia hukum dan ketidak-dilan pembangunan yang memicu kecemburuan jauh lebih penting ketimbang berusaha mendapatkan gelar-gelar adat dan segenap penghargaan yang bermasalah itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar